Sabtu, 15 November 2014

Cerita Nikmat Dengan Pembantuku

Umurku baru 28
tahun ketika diangkat jadi manager area sebuah
perusahaan consumer goods. Aku ditempatkan di
Semarang dan diberi fasilitas rumah kontrakan
tipe 45. Setelah 2-3 minggu tinggal sendirian di
rumah itu lama-lama aku merasa capai juga
karena harus melakukan pekerjaan rumah tangga
seperti nyapu, ngepel, cuci pakaian, cuci
perabot, bersih-bersih rumah tiap hari.

Akhirnya
kuputuskan cari pembantu rumah tangga yang
kugaji sendiri daripada aku sakit. Lewat sebuah
biro tenaga kerja, sore itu datanglah seorang
wanita sekitar 35 tahunan, Sumiyati namanya,
berasal dari Wonogiri dan sudah punya dua anak
yang tinggal bersama ortunya di desa.

“Anaknya ditinggal dengan neneknya tidak apa-
apa, Mbak?” tanyaku.
“Tidak, pak. Mereka kan sudah besar-besar,
sudah SMP dan SD kelas 6,” jawabnya.
“Lalu suami Mbak Sum dimana?”
“Sudah meninggal tiga tahun lalu karena tbc,
pak.”
“Ooo.. pernah kerja di mana saja, Mbak?”
“Ikut rumah tangga, tapi berhenti karena saya
tidak kuat harus kerja terus dari pagi sampai
malam, maklum keluarga itu anaknya banyak dan
masih kecil-kecil.. Kalau di sini kan katanya hanya
bapak sendiri yang tinggal, jadi pekerjaannya
tidak berat sekali.”

Dengan janji akan kucoba dulu selama sebulan,
jadilah Mbak Sum mulai kerja hari itu juga dan
tinggal bersamaku. Dia kuberi satu kamar,
karena memang rumahku hanya punya dua kamar.
Tugas rutinnya, kalau pagi sebelum aku ke kantor
membersihkan kamarku dan menyiapkan
sarapanku.

Setelah aku ke kantor barulah
ruangan lain, nyuci, belanja, masak dst. Dia
kubuatkan kunci duplikat untuk keluar masuk
rumah dan pagar depan. Setelah seminggu tinggal
bersama, kami bertambah akrab. Kalau di rumah
dan tidak ada tamu dia kusuruh memanggilku
“Mas” bukan “bapak” karena usianya tua dia.
Beruntung dia jujur dan pintar masak sehingga
setiap pagi dan malam hari aku dapat makan di
rumah, tidak seperti dulu selalu jajan ke luar.

Waktu makan malam Mbak Sum biasanya juga
kuajak makan semeja denganku. Biasanya,
selesai cuci piring dia nonton TV. Duduk di
permadani yang kugelar di depan pesawat. Kalau
tidak ada kerjaan yang harus dilembur aku pun
ikut nonton TV. Aku suka nonton TV sambil
tiduran di permadani, sampai-sampai ketiduran
dan seringkali dibangunkan Mbak Sum supaya
pindah ke kamar.

Suhu udara Semarang yang tinggi sering
membuat libidoku jadi cepat tinggi juga. Lebih lagi
hanya tinggal berdua dengan Mbak Sum dan setiap
hari menatap liku-liku tubuh semoknya,
terutama kalau dia pakai daster di atas paha.

(Kalau digambarkan bodynya sih mirip-mirip Yenny
Farida waktu jadi artis dulu). Maka lalu kupikir-
pikir rencana terbaik untuk bisa mendekap
tubuhnya. Bisa saja sih aku tembak langsung
memperkosanya toh dia nggak bakal melawan
majikan, tapi aku bukan orang jenis itu.

Menikmatinya perlahan-lahan tentu lebih
memberi kepuasan daripada langsung tembak dan
cuma dapat nikmat sesaat.
“Mbak Sum bisa mijit nggak?” tanyaku ketika
suatu malam kami nonton TV bareng.
Dia duduk dan aku tiduran di permadani.

“Kalau asal-asalan sih bisa, Mas,” jawabnya lugu.
“Nggak apa-apa, Mbak. Ini lho, punggungku kaku
banget.. Seharian duduk terus sampai nggak
sempat makan siang. “Tolong dipijat ya, Mbak..”
sambil aku tengkurap.

Mbak Sum pun bersimpuh di sebelahku. Tangannya
mulai memijat punggungku tapi matanya tetap
mengikuti sinetron di TV. Uuhh.. nikmatnya
disentuh wanita ini. Mata kupejamkan,
menikmati. Saat itu aku sengaja tidak pakai CD
(celana dalam) dan hanya pakai celana olahraga
longgar.

“Mijatnya sampai kaki ya, Mbak,” pintaku ketika
layar TV menayangkan iklan.
“Ya, Mas,” lalu pijatan Mbak Sum mulai menuruni
pinggangku, terus ke pantat.
“Tekan lebih keras, Mbak,” pintaku lagi dan Mbak
Sum pun menekan pantatku lebih keras.

Penisku jadi tergencet ke permadani, nikmat,
greng dan semakin.. berkembang. Aku tak tahu
apakah Mbak Sum merasakan kalau aku tak pakai
CD atau tidak. Tangannya terus meluncur ke
pahaku, betis hingga telapak kaki. Cukup lama
juga, hampir 30 menit.
“Sudah capai belum, Mbak?”
“Belum, Mas.”
“Kalau capai, sini gantian, Mbak kupijitin,”
usulku sambil bangkit duduk.
“Nggak usah, Mas.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Sekarang gantian Mbak
Sum tengkurap,” setengah paksa dan merajuk
seperti anak-anak kutarik tangannya dan
mendorong badannya supaya telungkup.

“Ah, Mas ini, saya jadi malu..”
“Malu sama siapa, Mbak? Kan nggak ada orang
lain?”
Agak canggung dia telungkup dan langsung
kutekan dan kupijit punggungnya supaya lebih
tiarap lagi. Kuremas-remas dan kupijit-pijit
punggung dan pinggangnya.
“Kurang keras nggak, Mbak?”
“Cukup, Mas..” Sementara matanya sekarang
sudah tidak lagi terlalu konsentrasi ke layar kaca.

Kadang merem melek. Tanganku mencapai
pantatnya yang tertutup daster. Kuremas,
kutekan, kadang tanganku kusisipkan di antara
pahanya hingga dasternya mencetak pantat
gempal itu.

Kusengaja berlama-lama mengolah
pantatnya, toh dia diam saja.
“Pantat Mbak empuk lo..” godaku sambil sedikit
kucubit.

“Ah, Mas ini bisa saja.. Mbak jadi malu ah, masak
pembantu dipijitin juragannya.. Sudah ah, Mas..”
pintanya.
Sambil berusaha berdiri.
“Sabar, Mbak, belum sampai ke bawah,” kataku
sambil mendorongnya balik ke permadani.
“Aku masih kuat kok.”
Tanganku bergerak ke arah pahanya. Meremas-
remas mulai di atas lutut yang tidak tertutup
daster, lalu makin naik dan naik merambat ke
balik dasternya.

Mbak Sum mula-mula diam namun
ketika tanganku makin tinggi memasuki
dasternya ia jadi gelisah.
“Sudah, Mas..”
“Tenang saja, Mbak.. Biar capainya hilang,”
sahutku sambil menempelkan bagian depan
celanaku yang menonjol ke samping pahanya yang
kanan sementara tanganku memijat sisi kiri
pahanya.

Sengaja kutekankan “tonjolan”ku. Dan
seolah tanpa sengaja kadang-kadang
kulingkarkan jari tangan ke salah satu pahanya
lalu kudorong ke atas hingga menyentuh bawah
vaginanya.

Tentu saja gerakanku masih di luar
dasternya supaya ia tidak menolak. Ingin kulihat
reaksinya. Dan yang terdengar hanya eh.. eh..
eh.. tiap kali tanganku mendorong ke atas.
“Sekarang balik, Mbak, biar depannya kupijat
sekalian..”
“Cukup, Mas, nanti capai..”
“Nggak apa-apa, Mbak, nanti gantian Mbak Sum
mijit aku lagi..”

Kudorong balik tubuhnya sampai telentang.
Daster di bagian pahanya agak terangkat naik.
Mula-mula betisnya kupijat lagi lalu tanganku
merayap ke arah pahanya. Naik dan terus naik dan
dasternya kusibak sedikit sedikit sampai kelihatan
CD-nya.

“Mbak Sum pakai celana item ya?” gurauku sampai
dia malu-malu.
“Saya jadi malu, Mas, kelihatan celananya..”
sambil tangannya berusaha menurunkan
dasternya lagi.
“Alaa.. yang penting kan nggak kelihatan isinya
to, Mbak..” godaku lagi sambil menahan
tangannya dan mengelus gundukan CD-nya dan
membuat Mbak Sum menggelinjang.
Tangannya berusaha menepis tanganku.

Melihat
reaksinya yang tidak terlalu menolak, aku tambah
berani. Dasternya makin kusingkap sehingga
kedua pahanya yang besar mengkal terpampang di
depanku.

Namun aku tidak terburu nafsu.
Kusibakkan kedua belah paha itu ke kiri-kanan
lalu aku duduk di sela-selanya. Kupijat-pijat
pangkal paha sekitar selangkangannya sambil
sesekali jariku nakal menelusupi CD-nya.

“Egh.. egh.. sudah Mas, nanti keterusan..”
tolaknya lemah.
Tangannya berusaha menahan tanganku, tapi
tubuhnya tak menunjukkan reaksi menolak malah
tergial-gial setiap kali menanggapi pijitanku.

“Keterusan gimana, Mbak?” tanyaku pura-pura
bodoh sambil memajukan posisi dudukku sehingga
penisku hampir menyentuh CD-nya. Dia diam saja
sambil tetap memegangi tanganku supaya tidak
keterusan.

“Ya deh, sekarang perutnya ya, Mbak..”
Tanganku meluncur ke arah perutnya sambil
membungkuk di antara pahanya. Sambil memijat
dan mengelus-elus perutnya, otomatis zakarku
(yang masih terbungkus celana) menekan CD-
nya.

Merasa ada tekanan di CD-nya Mbak Sum
segera bangun.
“Jangan Mas.. nanti keterusan.. Tidak baik..” lalu
memegang tanganku dan setengah menariknya.
Kontan tubuhku malah tertarik maju dan
menimpanya. Posisi zakarku tetap menekan
selangkangannya sedang wajah kami berhadap-
hadapan sampai hembusan nafasnya terasa.

“Jangan, Mas.. jangan..” pintanya lemah.
“Cuma begini saja, nggak apa-apa kan Mbak?”
ujarku sambil mengecup pipinya.
“Aku janji, Mbak, kita hanya akan begini saja dan
tidak sampai copot celana,” sambil kupandang
matanya dan pelan kugeser bibirku menuju ke
bibirnya.

Dia melengos tapi ketika kepalanya kupegangi
dengan dua tangan jadi terdiam. Begitu pula
ketika lidahku menelusuri relung-relung
mulutnya dan bibir kami berciuman. Sesaat
kemudian dia pun mulai merespons dengan
hisapan-hisapannya pada lidah dan bibirku.

Targetku hari itu memang belum akan
menyetubuhi Mbak Sum sampai telanjang. Karena
itulah kami selanjutnya hanya berciuman dan
berpelukan erat-erat, kutekan-tekankan
pantatku. Bergulingan liar di atas permadani.

Kuremas-remas payudaranya yang montok
mengkal di balik daster. Entah berapa jam kami
begituan terus sampai akhirnya kantuk
menyerang dan kami tertidur di permadani sampai
pagi. Dan ketika bangun Mbak Sum jadi tersipu-
sipu.

“Maaf ya, Mas,” bisiknya sambil memberesi diri.
Tapi tangannya kutarik sampai ia jatuh ke
pelukanku lagi.
“Nggak apa-apa, Mbak. Aku suka kok tidur sambil
pelukan kayak tadi. Tiap malam juga boleh kok..”
candaku.

Mbak Sum melengos ketika melihat tonjolan besar
di celanaku.

Sejak saat itu hubunganku dengan Mbak Sum
semakin hangat saja. Aku bebas memeluk dan
menciumnya kapan saja. Bagai istri sendiri. Dan
terutama waktu tidur, kami jadi lebih suka tidur
berdua. Entah di kamarku, di kamarnya atau di
atas permadani.

Sengaja selama ini aku menahan
diri untuk tidak memaksanya telanjang total dan
berhubungan kelamin. Dengan berlama-lama
menahan diri ini lebih indah dan nikmat rasanya,
sama seperti kalau kita menyimpan makanan
terenak untuk disantap paling akhir.

Hingga suatu malam di ranjangku yang besar
kami saling berpelukan. Aku bertelanjang dada
dan Mbak Sum pakai daster. Masih sekitar jam 9
waktu itu dan kami terus asyik berciuman,
berpagutan, berpelukan erat-erat saling raba,
pijat, remas. Kuselusupkan tanganku di bawah
dasternya lalu menariknya ke atas. Terus ke atas
hingga pahanya menganga, perutnya terbuka dan
akhirnya beha putihnya nampak menantang. Tanpa
bicara dasternya terus kulepas lewat kepalanya.
“Jangan, Mas..” Mbak Sum menolak.
“Nggak apa-apa, Mbak, cuma dasternya kan..”
rayuku.

Dia jadi melepaskan tanganku. Juga diam saja
ketika aku terang-terangan membuka celana
luarku hingga kami sekarang tinggal berpakaian
dalam. Kembali tubuh gempal janda montok itu
kugeluti, kuhisap-hisap puncak branya yang
nampak kekecilan menampung teteknya. Mbak
Sum mendesis-desis sambil meremasi rambut
kepalaku dan menggapitkan pahanya kuat-kuat ke
pahaku.

“Mbak Sum pingin kita telanjang?” tanyaku.
“Jangan, Mas. Pingin sih pingin.. tapi.. gimana
ya..”
“Sudah berapa lama Mbak Sum tidak ngeseks?”
“Ya sejak suami Mbak meninggal.. kira-kira tiga
tahun..”
“Pasti Mbak jadi sering masturbasi ya?”
“Kadang-kadang kalau sudah nggak tahan, Mas..”
“Kalau main dengan pria lain?”
“Belum pernah, Mas..”
“Masak sih, Mbak? masak nggak ada yang mau?”
“Bukan begitu, tapi aku yang nggak mau, Mas..”
“Kalau sama aku kok mau sih, Mbak?” godaku lagi.
“Ah, kan Mas yang mulai.. dan lagi, kita kan
nggak sampai anu..”
“Anu apa, Mbak?”
“Ya itu.. telanjang gitu..”
“Sekarang kita telanjang ya, Mbak..”
“Eee.. kalau hamil gimana, Mas?”
“Aku pakai kondom deh..”
“Ng.. tapi itu kan dosa, Mas?”
“Kalau yang sekarang ini dosa nggak, Mbak?”
tanyaku mentesnya.
“Eee.. sedikit, Mas,” jawabnya bingung.

Aku tersenyum mendengar jawaban mengambang
itu dan kembali memeluk erat-erat tubuh
sekalnya yang menggemaskan. Kuremas dan
kucium-cium pembungkus teteknya. Ia memeluk
punggungku lebih erat. Kuraba-raba belakang
punggungnya mencari lalu melepas kaitan branya.
“Ja..jangan, Mas..” Bisiknya tanpa reaksi
menolak dan kulanjutkan gerakanku.

Mbak Sum hanya melenguh kecil ketika branya
kutarik dan kulemparkan entah kemana. Dua buah
semangka segar itu langsung kukemut-kemut
putingnya. Kuhisap, kumasukkan mulut sebesar-
besarnya, kugelegak, sambil kulepas CD-ku. Mbak
Sum terus mendesis-desis dan bergetar-getar
tubuhnya.

Kami bergumul berguling-guling.
Kutekan-tekan selangkangannya dengan
zakarku.
“Gimana, Mbak.. sudah siap kuperawani?”
tanganku menjangkau CD-nya dan hendak
melepasnya.

“Jangan, Mas. Kalau hamil gimana?”
“Ya ditunggu saja sampai lahir to, Mbak..”
gurauku sambil berusaha menarik lepas CD-nya.
Mbak Sum berusaha memegangi CD-nya tapi
seranganku di bagian atas tubuhnya membuatnya
geli dan tangannya jadi lengah. Cd-nya pun
merosot melewati pantatnya.
“Kalau hamil, siapa yang ngurus bayinya?”
“Ya, Mbak lah, kan itu anakmu.. tugasku kan
cuma bikin anak, bukan ngurusi anak..” godaku
terus.

“Dasar, mau enaknya sendiri..” Mbak Sum
memukulku pelan, tangannya berusaha
menjangkau CD dari bawah pahanya tapi kalah
cepat dengan gerakanku melepas CD itu dari
kakinya. Buru-buru kukangkangkan pahanya lalu
kubenamkan lidahku ke situ. Slep.. slep.. slep..
Mbak Sum melenguh dan menggeliat lagi sambil
meremasi kepalaku. Nampak dia berada dalam
kenikmatan. Beberapa menit kemudian, aku
memutar posisi tubuhku sampai batang zakarku
tepat di mulutnya sementara lidahku tetap
beroperasi di vulvanya.

Dengan agak canggung-
canggung dia mulai menjilati, mengulum dan
menghisapnya. Vulvanya mulai basah, zakarku
menegang panjang. Eksplorasi dengan lidah
kuteruskan sementara tanganku memijit-mijit
sekitar selangkangan hingga anusnya.

“Agh.. agh.. Maas.. ak.. aku..”
Mbak Sum tak mampu bersuara lagi, hanya
pantatnya terasa kejang berkejat-kejat dan
mengalirlah cairan maninya mengaliri mulutku.
Kugelegak sampai habis cairan bening itu.
“Isap anuku lebih keras, Mbak!” perintahku
ketika kurasakan maniku juga sudah di ujung
zakar.

Dan benar saja, begitu diisap lebih keras sebentar
kemudian spermaku menyembur masuk ke
kerongkongan Mbak Sum yang buru-buru
melepasnya sampai mulutnya tersedak berlepotan
sperma. Kami pun terjelepak kelelahan. Kuputar
tubuhku lagi dan malam itu kami tidur telanjang
berpelukan untuk pertama kalinya. Tapi zakarku
tetap tidak memerawani vaginanya. Aku masih
ingin menyimpan “makanan terenak” itu berlama-
lama.

Selanjutnya kegiatan oral seks jadi kegemaran
kami setiap hari. Entah pagi, siang maupun malam
bila salah satu dari kami (biasanya aku yang
berinisiatif) ingin bersetubuh ya langsung saja
tancap. Entah itu di kamar, sambil mandi bersama
atau bergulingan di permadani. Tiap hari kami
mandi keramas dan entah berapa banyak bercak
mani di permadani.

Selama itu aku masih bertahan
dan paling banter hanya memasukkan kepala
zakarku ke vaginanya lalu kutarik lagi. Batangnya
tidak sampai masuk meski kadang Mbak Sum sudah
ingin sekali dan menekan-nekan pantatku. “Kok
nggak jadi masuk, Mas?” tanyanya suatu hari.

“Apa Mbak siap hamil?” balikku.
“Kan aku bisa minum pil kabe to Mas..”
“Bener nih Mbak rela?” jawabku menggodanya
sambil memasukkan lagi kepala zakarku ke
memeknya yang sudah basah kuyup.
“Heeh, Mas,” dia mengangguk.
“Mbak nggak merasa bersalah sama suami?”
“Kan sudah meninggal, Mas.”
“Sama anak-anak?”
Ia terdiam sesaat, lalu jawabnya lirih, “A.a.. aku
kan juga masih butuh seks, Mas..”
“Mana yang Mbak butuhkan, seks atau suami?”
tanyaku terus ingin tahu isi hatinya.

Kuangkat lagi kepala zakarku dari mulut
memeknya lalu kusisipkan saja di sela-sela
pahanya.

“Pinginnya sih suami, Mas.. tapi kalo Mas jadi
suamiku kan nggak mungkin to.. Aku ini kan cuma
orang desa dan pembantu..” jawabnya jujur.

“Jadi, kalau sama aku cuma butuh seksnya aja ya
Mbak? Mbak cuma butuh nikmatnya kan? Mbak
Sum pingin bisa orgasme tiap hari kan?”
Mbak Sum tersipu. Tidak menjawab malah
memegang kepalaku dan menyosor bibirku dengan
bibirnya.

Kami kembali berpagutan dan
bergulingan. Zakar besar tegangku terjepit di
sela pahanya lalu cepat-cepat aku berbalik tubuh
dan memasukkan ke mulutnya. Otomatis Mbak
Sum menghisap kuat-kuat zakarku sama seperti
aku yang segera mengobok-obok vaginanya
dengan tiga jari dan lidahku.

Sejenak kemudian
kembali kami orgasme dan ejakulasi hampir
bersamaan. Yah, bisakah pembaca bersetubuh
seperti kami? Saling memuasi tanpa memasukkan
zakar ke vagina.
Hubungan nikmat ini terus berlangsung hingga
suatu sore sepulangku kerja Mbak Sum
memberiku sekaplet pil kabe dan sekotak kondom
kepadaku.
“Sekarang terserah Mas, mau pakai yang mana?
Mbak sudah siap..” tantangnya.
Aku jadi membayangkan penisku memompa
vaginanya yang menggunduk itu.
“Mbak benar-benar ikhlas?” tanyaku.
“Lha memang selama ini apa Mas? Saya kan sudah
pasrah diapakan saja sama Mas.”
“Mbak tidak kuatir meskipun aku nggak bakalan
jadi suami Mbak?” lanjutku sambil berjaga-jaga
untuk menghindari resiko bila terjadi sesuatu di
belakang hari.

“Saya sudah ikhlas lega lila, mau dikawini saja
tiap hari atau dinikahi sekalian terserah Mas saja.
Saya benar-benar tidak ada pamrih apa-apa di
belakang nanti.. Saya hanya ingin kita
berhubungan seks dengan maksimal.. tidak
setengah-setengah seperti sekarang ini..”
Haah, ternyata Mbak Sum pun jadi berkobar
nafsu syahwatnya setelah berhubungan seks
denganku secara khusus selama ini. Ternyata
wanita ini memendam hasrat seksual yang besar
juga. Sampai rela mengorbankan harga dirinya.

Aku jadi tak tega, tapi sekaligus senang karena
tidak bakal menanggung resiko apapun dalam
berhubungan seks dengan dia. Aku selama ini kan
memang hanya mengejar nafsu dan nampaknya
Mbak Sum pun terbawa iramaku itu. Ya, seks
hanya untuk kesenangan nafsu dan tubuh. Tanpa
rasa cinta. Tidak perlu ada ketakutan terhadap
resiko harus menikahi, punya anak dsb. Kapan lagi
aku dapat prt sekaligus pemuas nafsu dengan
tarif semurah ini (gajinya sebulan 150 ribu rupiah
kadang kutambah 50 atau 100 ribu kalau ada
rejeki lebih).

Bandingkan biayanya bila aku harus
cari wanita penghibur setiap hari. Dan kayaknya
yang seperti inilah yang disukai para pria
pengobral zakar dan mungkin sebagian besar
pembaca 17Tahun inipun termasuk di dalamnya.

Mau nikmatnya, nggak mau pahitnya. Begitu,
kan? Ngaku ajalah, nggak usah cengar-cengir
kayak monyet gitu. Soal seks kita sama dan
sebangun kok. He he he..
“Sekarang aku mau mandi dulu, Mbak. Urusan itu
pikirin nanti saja,” jawabku sambil melepas
pakaian dan jalan ke kamar mandi bertelanjang.

Kutarik tangan Mbak Sum untuk menemaniku
mandi. Pakaiannya pun sudah kulepasi sebelum
kami sampai ke pintu kamar mandi. Hal seperti ini
sudah biasa kami lakukan.
Saling menggosok dan
memandikan sambil membangkitkan nafsu-nafsu
erotis kami. Dan acara mandi bersama selalu
berakhir dengan tumpahnya sperma dan mani kami
bersama-sama karena saling isep.
Dan godaan untuk bermain seks dengan tuntas
semakin besar setelah ada pil kabe dan kondom
yang dibeli Mbak Sum. Esok malamnya eksperimen
itu akan kami mulai dengan kondom lebih dulu.

Soalnya aku takut kalau ada efek samping bila
Mbak Sum minum pil kabe. Kata orang kalau nggak
cocok malah bikin kering rahim. Kan kasihan kalau
orang semontok Mbak Sum rahimnya kering.

Malam itu seusai makan malam dan nonton TV
sampai jam sembilan, kami mulai bergulingan di
permadani. Satu persatu penutup tubuh kami
bertebaran di lantai. Putingya kupelintir dan
sebelah lagi kukemut dan kugigit-gigit kecil
sementara tangan kananku menggosok-gosok
pintu memek Mbak Sum sampai dia mengerang-
erang mau orgasme.
“Sekarang pakai ya, Mas,” bisiknya sambil
menggenggam kencang zakarku yang tegang
memanjang.
“Heeh,” jawabku lalu dia menjangkau sebungkus
kondom yang sudah kamu sediakan di sebelah TV.

Disobeknya lalu karet tipis berminyak itu pelan-
pelan disarungkannya ke penisku. Mbak Sum
nampak hati-hati sekali.
“Wah, jadi gak bisa diisep Mbak nih,” kataku.
“Kan yang ngisep ganti mulut bawah, Mas..”
Guraunya membuatku tersenyum sambil terus
meremas-remas teteknya.
Sleeb.. lalu karet tipis itupun digulungnya turun
sampai menutupi seluruh batangku.
“Sudah, Mas,” katanya sambil menelentangkan
tubuh dan mengangkan pahanya lebar-lebar.

Perlahan aku mengangkanginya.
“Sekarang ya, Mbak,” bisikku sambil memeluknya
mesra.
Mbak Sum memejamkan mata. Perlahan zakarku
dipegang, diarahkan ke lobang nikmatnya.
Kuoser-oser sebentar di depan pintunya barulah
kudesakkan masuk. Masuk separuh. Mbak Sum
melenguh..
“Sakit Mbak?”
“Sedikit..”

Kuhentikan sebentar lalu kudorong lagi pelan-
pelan dan dia mulai melepasnya. Bless.. slep..
kugerakkan pantatku maju-mundur naik-turun.
Matanya merem melek, tangan kami berpelukan,
tetek tergencet dadaku, bibir kami saling kulum.
Kugenjot terus, kupompa, kubajak, kucangkul,
kumasuki, kubenamkan, dalam dan semakin dalam,
gencar, cepat dan kencang. Sampai akhirnya
gerakkanku terhambat ketika mendadak Mbak
Sum memelukkan pahanya erat-erat ke pahaku.

“Akk.. aku sampai Mas.. egh.. egh..”
Dan seerr.. terasa cairan hangat menerpa
zakarku. Kuhentikan gerakanku, dan hanya
membenamkannya dalam-dalam. Menekan dan
menekan masuk. Rasanya agak kurang enak
karena batangku terbungkus karet tipis itu.
Kubiarkan Mbak Sum istirahat sejenak sebelum
aku mulai memompanya lagi bertubi-tubi sambil
kueksplorasi bagian sensitif tubuhnya hingga dia
kembali terangsang.
“Mbak pingin keluar lagi?” tanyaku.
“Kk.. kalau bisa, Mas.. keluar sama-sama..”
ajaknya sambil mulai menggoyang dan memutar-
mutar bokongnya.
Aku merasakan nikmat yang belum pernah
kurasakan. Soalnya kan baru pertama kali ini
zakarku menancapi lubangnya. Ternyata hebat
juga goyangannya. Goyang ngebornya Inul,
ngecornya Denada atau ngedennya Camelia Malik
kalah jauh deh.. soalnya mana mungkin aku
ngrasain vagina mereka kan? Dan kenikmatan itu
semakin terasa diujung batangku. Gerakan
pompaku semakin cepat dan cepat.
“Mbak.. hh.. hh.. hh..” dengus nafasku terus
memacu gerak maju mundur pantatku.

Sementara dengan tak kalah brutalnya Mbak Sum
melakukan yang sama dari bawah.
“Ak.. aku sudah mau Mbak..” pelukku ketat ke
tubuhnya.
Kutindih, kuhunjamkan dalam-dalam,
kuhentakkan ketika sperma keluar dari ujung
batangku. Yang pasti Mbak Sum tak bakalan
merasakan semburannya karena toh sudah
tertampung di ujung kondom. Sejenak kemudian
Mbak Sum pun meregang dan berkejat-kejat
beberapa kali sambil membeliak-beliak matanya.

Dia orgasme lagi. Tubuhnya tetap kutelungkupi.
Nafas kami memburu. Mata kami terpejam
kecapaian. “Puas, Mbak?” bisikku sambil
mengulum telinganya. Dia mengangguk kecil. Kami
kembali tidur berpelukan. Mungkin dia tengah
membayangkan tidur dengan suaminya.

(Sementara aku tidak membayangkan apapun
kecuali sesosok daging mentah kenyal yang siap
kugenjot setiap saat). Hehehe.. kasihan Mbak
Sum kalau dia tahu otak mesumku. Tapi kenapa
mesti dikasihani kalau dia juga menikmati? Ya
kan? Ya kan? Aku sering bertanya-tanya: Bila
seorang wanita orgasme ketika dia diperkosa,
apakah itu bisa disebut perkosaan? Siapa bisa
jawab?
Sambil menunggu jawab Anda, aku dan Mbak Sum
terus mereguk kepuasan dengan pakai kondom.

Sayangnya satu kondom hanya bisa dipakai satu
kali main. Kalau lebih dikuatirkan bocor. Makanya
hanya dalam sehari itu kondom satu dus habislah
sudah. Anda bisa hitung sendiri berapa kali aku
ejakulasi.
Esoknya, “Mbak, kondomnya habis, mau pakai
pil?” tanyaku.
“Boleh,” jawabnya santai.
Dan malam itu mulailah ia minum pil sesuai jadwal
dan hasilnya.. ternyata kami lebih puas karena
tidak ada lagi selaput karet tipis yang menahan
semburan spermaku memasuki gua garba Mbak
Sum.

“Mas.. Mas.. semprot terus Mas, enak banget..”
serunya ketika aku ejakulasi sambil berkejat-
kejat diatas pahanya belasan kali menghunjamkan
zakar yang menyemprot puluhan kali.
Dari cret, crit, crut, crat sampai crot crot crot
lalu cret cret cret lagi!! Soal rahim kering sudah
tak kupikir lagi. Biar saja mau kering mau basah
wong yang melakukan manggut-manggut saja
tuh. Yah, dalam semalam minimal kami pasti
sampai tiga kali orgasme dan ejakulasi.

Sedangkan
pagi atau siang tidak selalu kami lakukan. Kami
bagaikan sepasang maniak seks. Ditambah vCD-
vCD triple-x yang kutontonkan padanya, Mbak
Sum jadi semakin ahli mengolah persetubuhan
kami jadi kenikmatan tiada tara.

Untuk melanjutkan membaca silahkan kehalaman BERIKUTNYA.

Cerita Hot Mitha

                  Selamat menikmati cerita ternikmat berikut.

 


Mitha terlambat bangun untuk berangkat sekolah, padahal sebelumnya dia selalu bangun lebih pagi. Mungkin semalam keasyikan nonton acara TV, sehingga pagi ini dia harus buru-buru kalau tidak ingin terlambat sampai di SMU. Mitha adalah pelajar kelas 1, minggu depan dia akan berulang tahun yang ke-15.
Dengan wajah yang manis, rambut sebahu, kulit putih bersih, mata bening dan ukuran payudara 34B, tak heran Mitha selalu menjadi incaran para lelaki, baik yang sekedar iseng menggoda atau yang serius ingin memacarinya. Tetapi sampai hari ini Mitha belum menjatuhkan pilihannya.

Alasannya cukup klasik, “Maaf ya.., kita temenan aja dulu.., soalnya saya belum berani pacaran.., khan masih kecil, ntar dimarahin ortu kalau ketahuan…” begitu selalu kilahnya kepada setiap lelaki yang mendekatinya.

Begitulah Mitha, gadis manis yang belum terjamah bebasnya pergaulan metropolis seperti Jakarta tempatnya tinggal. Mitha mungkin akan cukup lama bertahan dalam keluguannya kalau saja peristiwa itu tidak terjadi.
Pagi itu selesai menyiapkan diri untuk berangkat, Mitha sedikit tergesa-gesa menjalankan Honda Supra-nya. Tanpa disadarinya dari kejauhan tiga pasang mata mulai mengintainya. Anton (25 tahun) mahasiswa salah satu PTS yang pernah ditolak cintanya oleh Mita, hari itu mengajak dua rekannya (Iwan dan Tejo) yang terkenal bejat untuk memberi pelajaran buat Mitha, karena Anton yang playboy paling pantang untuk ditolak, apalagi oleh gadis ingusan macam Mitha.

Tepat di jalan sempit yang hampir jarang dilewati orang, Anton dan kawan-kawan memalangkan Toyota Land Cruser-nya, karena mereka tahu persis Mitha akan melewati jalan pintas ini menuju sekolahnya. Sedikit kaget melihat mobil menghadang jalannya, Mitha gugup dan terjatuh dari motornya. Anton yang berada di dalam mobil beranjak keluar.

“Hai Mit.., jatuh ya..?” kata Anton dengan santainya.
“Apa-apaan sih kamu..? Mau bunuh aku ya..?” hardik Mitha dengan wajah kesal.
“Nggak.., cuman aku mau kamu jadi pacarku, jangan nolak lagi lho..! Ntar…” kata Anton yang belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
“Ntar apa..?” potong Mitha yang masih dengan wajah kesal.
“Ntar gue perkosa lo..!”
“Sialan dasar usil, cepetan minggir aku udah telat nih..!” bentak Mitha.
Air mata di pipinya mulai menetes karena Anton tetap menghalangi jalannya.
“Anton please.., minggir dong..!” pintanya sudah tidak sabaran lagi.
Anton mulai mendekati Mitha yang gemetar tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi bajingan ini. Tiba-tiba dari arah belakang sebuah pukulan telak mendarat di tengkuk Mitha yang membuatnya pingsan seketika. Rupanya Iwan yang sedari tadi bersembunyi di balik pohon bersama delapan orang lainnya sudah tidak sabar lagi.

“Ayo kita angkut dia..!” perintah Anton kepada teman-temannya.
Singkat cerita, Mitha dibawa ke sebuah rumah kosong di pinggir kota. Letak rumah itu menyendiri, jauh dari rumah-rumah yang lainnya, sehingga apapun yang terjadi di dalamnya tidak akan diketahui siapapun.
Sebuah tamparan di pipinya membuat gadis ini mulai siuman. Dengan tatapan nafsu dari dua lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya kecuali satu orang, yaitu Anton. Mitha mulai ketakutan memandang sekelilingnya. Apa yang akan terjadi samar-samar mulai terbayang di matanya. Jelas sekali dia akan diperkosa oleh 3 orang. Rupanya mereka sudah tidak sabaran lagi untuk segera memperkosa Mitha. Tangan-tangan mereka mulai merobek-robek pakaian gadis itu dengan sangat kasar tanpa perduli teriakan ampum maupun tangisan Mitha.

Setelah menelanjangi Mitha sehingga Mitha benar-benar bugil. Sekali sentak Iwan menjambak rambut Mitha dan menariknya, sehingga tubuh Mitha yang tekulai di lantai terangkat ke atas dalam posisi berlutut menghadap Iwan.
“An.., lo mau gue apain nih cewek..?” kata Iwan sambil melirik ke arah Anton.
“Terserah deh.., emang gue pikirin..!”
Iwan menatap sebentar ke arah Mitha yang sudah sangat ketakutan, air matanya nampak mengalir dan, “PLAK..!” tamparan Iwan melayang ke pipinya.

Anton dan yang lainnya mulai membuka pakaian masing-masing, sehingga sekejap orang-orang yang berada dalam ruangan itu semuanya telanjang bulat. Mitha yang terduduk di lantai karena dicampakkan Iwan kembali menerima perlakuan serupa dari Anton yang kembali menjambak rambutnya, hanya saja tidak menariknya ke atas, tetapi ke bawah, sehingga sekarang Mitha dalam posisi telentang. Teman-teman Anton memegangi kedua tangan dan kaki Mitha, sedangkan Anton duduk tepat di atas kedua payudara Mitha. Penis Anton yang sudah mengeras dengan panjang 18 cm ditempelkan ke bibir Mitha.
“Ayo isep kontol gue..!” bentak Anton tidak sabaran.

Karena Mitha tidak juga membuka mulutnya, Anton menampar Mitha berkali-kali. Karena tidak tahan, akhirnya mulut mungil Mitha mulai terbuka. Tanpa ampun Anton yang sudah tidak sabaran memasukkan penisnya sampai habis, tonjolan kepala penis Anton nampak di tenggorokan Mitha. Anton mulai memaju-mundurkan penisnya di mulut Mitha selama 5 menit tanpa memberi kesempatan Mitha untuk bernafas. Mitha kesakitan dan mulai kehabisan nafas, Anton bukannya kasihan tetapi malah semakin brutal menancapkan penisnya.

Selang beberapa saat, Anton mengeluarkan penisnya dari mulut Mitha, dan segera diganti oleh Penis Iwan yang panjangnya hampir 20 cm. Tejo yang sedari tadi memegang kaki Mitha mulai menjalankan aksinya. Paha Mitha ditarik ke atas dan mengarahkan penisnya ke vagina Mitha. Penis Tejo yang paling besar di antara kedua rekannya tidak terlalu gampang menembus vagina Mitha yang memang sangat sempit, karena masih perawan. Tetapi Tejo tidak perduli, penisnya terus ditekan ke dalam vagina Mitha dan tidak berapa lama Mitha tampak meringis kesakitan, tetapi tidak mampu bersuara karena mulutnya tersumbat penis Iwan yang dengan kasarnya menembus hingga tenggorokannya.

Tejo memaju-mundurkan penisnya ke dalam vagina Mitha dan nampak darah mulai menetes dari vagina Mitha. Keperawanan Mitha telah dikoyak Tejo. Iwan yang tidak puas akan “pelayanan” Mitha nampak kesal.

“Ayo isep atau gue cekik lo..!” bentaknya ke arah Mitha yang sudah dingin pandangannya.
Mitha yang sudah putus asa hanya dapat menuruti keinginan Iwan. Mulutnya dimaju-mundurkan sambil menghisap penis Iwan.
“Ayo cepat..!” kata Iwan lagi.
Karena dalam posisinya yang telentang, agak sulit bagi Mitha menaik-turunkan kepalanya untuk mengulum penis Iwan, tetapi Iwan rupanya tidak mau perduli. Mitha melingkarkan tangannya ke pinggang Iwan, sehingga dia dapat sedikit mempercepat gerakannya sesuai keinginan Iwan.
Hampir 30 menit berlalu, Iwan hampir ejakulasi, rambut Mitha ditarik ke bawah sehingga wajahnya menengadah ke atas. Iwan mencabut penisnya dari mulut Mitha.
“Buka yang lebar dan keluarin lidah lo..!” bentaknya lagi.

Mitha membuka mulutnya lebar-lebar dan menjulurkan lidahnya keluar. Iwan memasukkan kembali setengah penisnya ke mulut Mitha dan, “Ah.., crot… crot… crot..!” sperma Iwan yang banyak masuk ke mulut Mitha.
“Telan semuanya..!”
Mitha terpaksa menelan semua sperma Iwan yang masuk ke mulutnya, walau sebagian ada yang mengalir di sela-sela bibirnya.
Tejo yang juga hampir ejakulasi mencabut penisnya dari vagina Mitha dan merangkat ke atas dada Mitha dan bersamaan dengan Iwan mencabut penisnya dari mulut Mitha. Tejo memasukkan penisnya ke mulut Mitha sampai habis masuk hingga ke tenggorokan mitha.
Dan, “Crot.. crot.. crot..!” kali ini sperma Tejo langsung masuk melewati tenggorokan Mitha.
Anton yang sedari tadi menonton perbuatan kedua rekannya melakukan hal serupa yang dilakukan Tejo, hanya saja Anton menyemprotkan spermanya ke dalam vagina Mitha.

Begitulah selanjutnya, masing-masing dari mereka kembali memperkosa Mitha sehingga baik Anton, Tejo dan Iwan dapat merasakan nikmatnya vagina Mitha dan hangatnya kuluman bibir Mitha yang melingkari penis-penis mereka. Mereka benar-benar sudah melampaui batasan keinginan berbalas denadam terhadap Mitha yang tadinya masih polos itu.

Sebelum meninggalkan Mitha sendirian di rumah kosong, mereka sempat membuat photo-photo telanjang Mitha yang dipergunakan untuk mengancam Mitha seandainya buka mulut. Photo-photo tersebut akan disebarkan ke seantero sekolah Mitha jika memang benar-benar Mitha melaporkan hal tersebut ke orang lain.

Hari-hari selanjutnya dengan berbagai ancaman, Mitha terpaksa pasrah diperkosa kembali oleh Anton dan kawan-kawan sampai belasan kali. Dan setiap kali diperkosa, jumlahnya selalu bertambah, hingga terakhir Mitha diperkosa 40 orang, dan dipaksa menelan sperma setiap pemerkosanya. Sungguh malang nasib Mitha.



 MAU YANG LEBIH HOT MASUK DISINI